FOOD ESTATE DAN PROGRAM PSR : Membangun Ketahanan Pangan dan Energi Dari Akar Rumput

Melalui pembukaan lahan berskala besar di wilayah Kalimantan dan Papua, pemerintah berupaya menigkatkan produksi pangan domestik dengan pendekatan mekanisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung. Namun, dibalik narasi besar tersebut, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang benar - benar memperoleh manfaat dari program ini?

ARTIKEL

HLS Redaksi

9 Juni 2025
Bagikan :

Oleh : Rama Kurniawan Mahasiswa IPB University, Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Angkatan2024, DR.Nia Kurniawati Hidayat, SP,MSi (Dosen IPB University pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen)

HAISAWIT - Program food estate kerap dikemukakan sebagai solusi strategis terhadap potensi krisis pangan nasional. Melalui pembukaan lahan berskala besar di wilayah Kalimantan dan Papua, pemerintah berupaya menigkatkan produksi pangan domestik dengan pendekatan mekanisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung. Namun, dibalik narasi besar tersebut, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang benar - benar memperoleh manfaat dari program ini?

Dalam praktiknya, food estate seringkali tidak melibatkan petani lokal secara menyeluruh, banyak masyarakat di daerah pelaksanaan proyek merasa termarginalkan karena tidak dilibatkan sejak tahap perencanaan. Permasalahan mengenai kepemilikan lahan dan ketidakjelasan distribusi hasil pertanian semakin memperkuat anggapan bahwa proyek ini tidak sepenuhnya berpihak kepada kesejahteraan petani.

Masalah struktural ini berkaitan erat dengan persoalan agraria yang telah berlangsung lama di Indonesia. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukan bahwa sekitar 1% penduduk menguasai lebih dari 50% lahan di Indonesia. Ketimpangan ini menjadi penghambat utama bagi tercapainya ketahanan pangan yang inklusif dan berkelanjutan. Ketahanan pangan tidak dapat terwujud jika petani tidak memiliki akses dan kendali atas lahan pertanian.

Data sensus pertanian 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukan bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian mengalami penurunan dari 26,1 juta pada tahun 2013 menjadi sekitar 22,5 juta pada tahun 2023. Penurunan ini mencerminkan bahwa semakin kecilnya basis petani aktif  yang menjadi aktor utama dalam produksi pangan nasional.

Berikut ini adalah visualisasi penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut data BPS :


Grafik penurunan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013-2023

Gambar tersebut mempertegas penurunan signifikan jumlah petani aktif, yang berdampak langsung pada kapasitas produksi pangan nasional serta ketahanan pangan jangka panjang.

Program food estate mencerminkan pendekatan pembangunan yang bersifat top-down, berorientasi proyek, dan terfokus pada kuantitas produksi. Seringkali pendekatan ini mengabaikan dimensi sosial dan ekologis, serta tidak mempertimbangkan keberlanjutan dalam jangka panjang. Di sisi lain, upaya serupa juga dapat ditemukan pada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

PSR merupakan kebijakan strategis pemerintah yang bertujuan meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit milik rakyat melalui peremajaan tanaman tua atau tidak produktif. Sejak diluncurkan pada 2017, PSR menargetkan peremajaan seluas 2,4 juta hektare. Namun, hingga 2023, realisasi program ini baru mencapai sekitar 305.000 hektare (BPDPKS, 2023). Rendahnya pencapaian tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya permasalahan legalitas lahan, keterbatasan akses pembiayaan, serta minimnya pendampingan teknis.

Sebagaimana food estate, PSR juga menghadapi tantangan implementasi akibat pendekatan yang tidak partisipatif. Banyak petani tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga tidak memenuhi syarat administratif untuk mengakses dana hibah sebesar Rp.30 juta per hektare. Hambatan administratif dan teknokratis ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang tidak berakar pada realitas sosial akan sulit mencapai tujuan yang diharapkan.

Sebagai bentuk evaluasi konstruktif, beberapa langkah solutif dapat dipertimbangkan:

1. Penguatan Reforma Agraria sebagai Fondasi Kebijakan Pangan dan Energi Reforma agrariaperlu ditempatkan sebagai prasyarat utama keberhasilan program food estate dan PSR. Penyelesaian masalah legalitas lahan melalui redistribusi tanah dan percepatan sertifikasi akan memberikan kepastian hukum dan meningkatkan partisipasi petani.

2. Pendekatan Partisipatif dan Kontekstual Pelibatan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program mutlak diperlukan. Keterlibatan ini akan meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program serta membangun rasa memiliki di tingkat akar rumput. 

3. Diversifikasi Komoditas Berbasis Potensi Lokal Tidak semua wilayah cocok ditanami padi atau kelapa sawit. Oleh karena itu, pengembangan komoditas pangan lokal yang sesuai dengan kondisi agroekologis dan budaya setempat, seperti sagu di Papua atau sorgum di Nusa Tenggara, perlu diintegrasikan dalam kebijakan nasional.

4. Peningkatan Kapasitas dan Transfer Pengetahuan Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat sistem penyuluhan pertanian serta menyediakan pelatihan teknis yang relevan bagi petani.

5. Evaluasi Berbasis Dampak Sosial dan Lingkungan Setiap program pangan dan energi sebaiknya dievaluasi tidak hanya berdasarkan output produksi, tetapi juga berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan petani, keberlanjutan lingkungan, dan pengurangan ketimpangan.

Secara keseluruhan, baik food estate maupun PSR mencerminkan komitmen negara dalam menjamin ketahanan pangan dan energi nasional. Namun, keberhasilan program-program ini sangat bergantung pada sejauh mana pendekatan pembangunan berpijak pada realitas sosial, memperkuat kedaulatan petani, dan menghormati ekosistem lokal. Diperlukan imajinasi pembangunan yang tidak hanya besar dalam skala, tetapi juga dalam empati, partisipasi, dan keberlanjutan.

Bagikan :

Artikel Lainnya