
Oleh : Rama Kurniawan Mahasiswa IPB University, Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Angkatan2024, DR.Nia Kurniawati Hidayat, SP,MSi (Dosen
IPB University pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen)
HAISAWIT - Program
food estate kerap dikemukakan sebagai solusi strategis terhadap potensi krisis
pangan nasional. Melalui pembukaan lahan berskala besar di wilayah Kalimantan
dan Papua, pemerintah berupaya menigkatkan produksi pangan domestik dengan
pendekatan mekanisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung. Namun, dibalik
narasi besar tersebut, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang benar - benar
memperoleh manfaat dari program ini?
Dalam
praktiknya, food estate seringkali tidak melibatkan petani lokal secara
menyeluruh, banyak masyarakat di daerah pelaksanaan proyek merasa
termarginalkan karena tidak dilibatkan sejak tahap perencanaan. Permasalahan
mengenai kepemilikan lahan dan ketidakjelasan distribusi hasil pertanian
semakin memperkuat anggapan bahwa proyek ini tidak sepenuhnya berpihak kepada
kesejahteraan petani.
Masalah
struktural ini berkaitan erat dengan persoalan agraria yang telah berlangsung
lama di Indonesia. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukan bahwa
sekitar 1% penduduk menguasai lebih dari 50% lahan di Indonesia. Ketimpangan
ini menjadi penghambat utama bagi tercapainya ketahanan pangan yang inklusif
dan berkelanjutan. Ketahanan pangan tidak dapat terwujud jika petani tidak
memiliki akses dan kendali atas lahan pertanian.
Data
sensus pertanian 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga
menunjukan bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian mengalami penurunan dari
26,1 juta pada tahun 2013 menjadi sekitar 22,5 juta pada tahun 2023. Penurunan
ini mencerminkan bahwa semakin kecilnya basis petani aktif yang menjadi aktor utama dalam produksi
pangan nasional.
Berikut
ini adalah visualisasi penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut
data BPS :

Grafik penurunan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013-2023
Gambar
tersebut mempertegas penurunan signifikan jumlah petani aktif, yang berdampak langsung
pada kapasitas produksi pangan nasional serta ketahanan pangan jangka panjang.
Program
food estate mencerminkan pendekatan pembangunan yang bersifat top-down,
berorientasi proyek, dan terfokus pada kuantitas produksi. Seringkali
pendekatan ini mengabaikan dimensi sosial dan ekologis, serta tidak
mempertimbangkan keberlanjutan dalam jangka panjang. Di sisi lain, upaya serupa
juga dapat ditemukan pada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
PSR
merupakan kebijakan strategis pemerintah yang bertujuan meningkatkan
produktivitas perkebunan kelapa sawit milik rakyat melalui peremajaan tanaman
tua atau tidak produktif. Sejak diluncurkan pada 2017, PSR menargetkan
peremajaan seluas 2,4 juta hektare. Namun, hingga 2023, realisasi program ini baru
mencapai sekitar 305.000 hektare (BPDPKS, 2023). Rendahnya pencapaian tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya permasalahan legalitas lahan,
keterbatasan akses pembiayaan, serta minimnya pendampingan teknis.
Sebagaimana
food estate, PSR juga menghadapi tantangan implementasi akibat pendekatan yang
tidak partisipatif. Banyak petani tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga
tidak memenuhi syarat administratif untuk mengakses dana hibah sebesar Rp.30
juta per hektare. Hambatan administratif dan teknokratis ini menunjukkan bahwa
pendekatan pembangunan yang tidak berakar pada realitas sosial akan sulit mencapai
tujuan yang diharapkan.
Sebagai
bentuk evaluasi konstruktif, beberapa langkah solutif dapat dipertimbangkan:
1. Penguatan Reforma Agraria sebagai Fondasi Kebijakan
Pangan dan Energi Reforma
agrariaperlu ditempatkan sebagai prasyarat utama keberhasilan program food
estate dan PSR. Penyelesaian masalah legalitas lahan melalui redistribusi tanah
dan percepatan sertifikasi akan memberikan kepastian hukum dan meningkatkan
partisipasi petani.
2. Pendekatan Partisipatif dan Kontekstual Pelibatan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi program mutlak diperlukan. Keterlibatan ini akan meningkatkan efektivitas
dan keberlanjutan program serta membangun rasa memiliki di tingkat akar rumput.
3. Diversifikasi Komoditas Berbasis Potensi Lokal Tidak semua wilayah cocok ditanami padi atau kelapa
sawit. Oleh karena itu, pengembangan komoditas pangan lokal yang sesuai dengan
kondisi agroekologis dan budaya setempat, seperti sagu di Papua atau sorgum di
Nusa Tenggara, perlu diintegrasikan dalam kebijakan nasional.
4. Peningkatan Kapasitas dan Transfer Pengetahuan Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan
organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat sistem penyuluhan pertanian serta menyediakan
pelatihan teknis yang relevan bagi petani.
5. Evaluasi Berbasis Dampak Sosial dan Lingkungan Setiap program pangan dan energi sebaiknya dievaluasi
tidak hanya berdasarkan output produksi, tetapi juga berdasarkan dampaknya
terhadap kesejahteraan petani, keberlanjutan lingkungan, dan pengurangan
ketimpangan.
Secara keseluruhan, baik
food estate maupun PSR mencerminkan komitmen negara dalam menjamin ketahanan
pangan dan energi nasional. Namun, keberhasilan program-program ini sangat
bergantung pada sejauh mana pendekatan pembangunan berpijak pada realitas
sosial, memperkuat kedaulatan petani, dan menghormati ekosistem lokal.
Diperlukan imajinasi pembangunan yang tidak hanya besar dalam skala, tetapi
juga dalam empati, partisipasi, dan keberlanjutan.