Kelapa Sawit Jadi Simbol Perdamaian dan Kemandirian di Bekas Wilayah Konflik Kolombia

Transformasi wilayah konflik menjadi pusat budidaya kelapa sawit berkelanjutan di Kolombia membawa harapan baru. Petani kecil menjadi garda depan dalam membangun perdamaian dan kemandirian ekonomi lokal.

BERITA

Arsad Ddin

30 Mei 2025
Bagikan :

Bidang Tim. RSPO dengan PromoAgrosur: Vanessa Pérez, Nicolás Dangond, Darío Barrios, Camilo Santos, José Manuel Mercados, María Eugenia Londoño, Luis Dangond, Leonardo Hurtado, Bella Sosa, Guntur Chayo, Carlos Murgas, Félix Among Gatot Prasetyo. (Foto: rspo.org)

Jakarta, HAISAWIT – Kelapa sawit menjadi simbol perubahan di San Pablo, Kolombia. Wilayah ini dikenal sebagai bekas zona konflik dan kini bertransformasi menjadi komunitas mandiri lewat pertanian sawit.

Komunitas petani sawit di sana menggantikan budidaya tanaman ilegal dengan usaha legal yang berkelanjutan, membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.

Dikutip dari tulisan Felix Diantara Gatot Prasetyo dalam laman resmi RSPO, Jumat (30/05/2025), kelompok petani kecil yang berjumlah 208 orang telah berhasil membangun perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dengan dukungan Dana Dukungan Petani Kecil RSPO dan fasilitator lokal Promotora Superior SAS.

Peralihan ini bukan tanpa tantangan. Komunitas harus menghadapi trauma sosial dan ketidakpercayaan yang muncul setelah konflik berkepanjangan.

Namun, mereka berhasil membangun kembali kepercayaan melalui kerja sama dan penguatan kapasitas sebagai petani kelapa sawit mandiri.

Minyak kelapa sawit kini menjadi pusat kehidupan ekonomi di San Pablo. Menurut Felix Diantara Gatot Prasetyo, sawit tidak hanya sumber penghasilan, tetapi juga kebanggaan bersama masyarakat setempat.

"Saat ini, minyak kelapa sawit merupakan urat nadi perekonomian San Pablo dan sumber kebanggaan kolektif," tulis Felix.

Tidak hanya itu, 90 persen petani di San Pablo adalah petani kecil yang mengelola lahan mereka secara otonom.

Sebagian besar petani yang mengelola kebun sawit di wilayah ini adalah petani kecil. Felix menjelaskan bahwa mereka menjalankan usaha dengan penuh otonomi dan tujuan jelas.

"Hebatnya, 90% petani kelapa sawit di sini adalah petani kecil yang mengelola lahan mereka dengan otonomi dan tujuan," kata Felix dalam tulisannya.

Perjalanan San Pablo dari tahun 1980-an hingga 1990-an penuh tantangan, terutama akibat konflik yang melanda wilayah ini. Namun, kelapa sawit hadir sebagai penggerak baru yang membangun fondasi kemandirian dan perdamaian di bekas kawasan tersebut, membawa harapan bagi masyarakatnya.***

Bagikan :

Artikel Lainnya