Gubernur Riau Abdul Wahid meminta revisi skema Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang dinilai belum mencerminkan volume produksi aktual. Ia juga mengeluhkan rendahnya penerimaan daerah meski kontribusi sawit sangat besar.
Arsad Ddin
10 Juni 2025Gubernur Riau Abdul Wahid meminta revisi skema Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang dinilai belum mencerminkan volume produksi aktual. Ia juga mengeluhkan rendahnya penerimaan daerah meski kontribusi sawit sangat besar.
Arsad Ddin
10 Juni 2025Jakarta, HAISAWIT – Gubernur Riau Abdul Wahid melakukan audiensi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (5/6/2025), membahas tekanan fiskal yang dihadapi pemerintah provinsi, termasuk ketimpangan penerimaan daerah dari sektor unggulan.
Salah satu isu utama yang disampaikan Gubernur kepada Menkeu adalah ketidakseimbangan antara kontribusi sektor kelapa sawit dan besarnya dana yang diterima melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH).
Menurut Gubernur, daerah penghasil seperti Riau sudah sepatutnya memperoleh pembagian DBH yang dihitung berdasarkan volume produksi aktual, bukan semata-mata dari pungutan ekspor atau bea keluar.
“Produk domestik regional bruto (PDRB) Riau mencapai Rp1,12 triliun, tapi penerimaan pajak yang diterima daerah tidak sebanding,” ujar Abdul Wahid, dikutip dari laman infopublik.id, Riau, Selasa (10/06/2025).
Ia juga menyampaikan bahwa Pemprov Riau mengusulkan sistem take on product agar pembagian dana dilakukan secara proporsional dengan produksi komoditas unggulan daerah, salah satunya kelapa sawit.
“Kami berharap alokasi DBH dan pajak disesuaikan dengan volume produksi aktual daerah,” sambungnya.
Dalam pertemuan itu, Gubernur turut mengungkapkan penurunan signifikan pada DBH sawit Riau. Tahun 2025, realisasinya tercatat hanya Rp32 miliar, jauh menurun dibanding tahun 2024 sebesar Rp73 miliar.
Rendahnya realisasi DBH sawit ini terjadi di tengah tetap tingginya volume produksi CPO di wilayah Riau yang selama ini menjadi penopang utama industri kelapa sawit nasional.
Sementara itu, besaran DBH sektor kehutanan dan migas juga mengalami penurunan. Harga patokan DBH kehutanan belum diperbarui sejak 2017, sedangkan produksi migas juga merosot drastis.
Gubernur menyampaikan bahwa realisasi DBH migas pada tahun 2024 hanya mencapai Rp292 miliar, jauh di bawah angka tahun 2023 yang sebesar Rp502 miliar.
Hal lain yang turut dibahas adalah tunda bayar tahun anggaran 2023 yang mencapai Rp274 miliar. Situasi ini menambah tekanan fiskal terhadap kemampuan belanja dan layanan publik di tingkat daerah.
Dalam catatan Kementerian Keuangan, sisa kurang bayar DBH tahun 2023 untuk Riau masih tersisa sebesar Rp284 miliar. Baru Rp87 miliar yang disalurkan berdasarkan PMK Nomor 89 Tahun 2024.
Gubernur juga menyinggung soal mekanisme Treasury Dealing Framework (TDF) yang dinilai menyulitkan pengajuan dana dari pusat karena prosesnya yang terlalu kompleks bagi pemerintah daerah.
Audiensi tersebut berlangsung di Gedung Juanda, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dan dihadiri sejumlah pejabat Kementerian Keuangan dan Pemerintah Provinsi Riau.***