Indonesia meminta Uni Eropa menyelaraskan standar keberlanjutan sawit dengan sertifikasi ISPO agar tidak terjadi kewajiban sertifikasi ganda bagi eksportir.
Arsad Ddin
23 April 2025Indonesia meminta Uni Eropa menyelaraskan standar keberlanjutan sawit dengan sertifikasi ISPO agar tidak terjadi kewajiban sertifikasi ganda bagi eksportir.
Arsad Ddin
23 April 2025Jakarta, HAISAWIT – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Ravindra Airlangga, menerima kunjungan Delegasi Ketua Komite Perdagangan Internasional (INTA) Parlemen Eropa di Gedung Nusantara II, Rabu (16/04/2025). Dalam pertemuan ini, salah satu isu yang dibahas adalah pengakuan sertifikasi sawit Indonesia, ISPO, dalam perjanjian EU-CEPA.
ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil menjadi standar keberlanjutan yang diterapkan Indonesia untuk industri kelapa sawit.
Dalam dialog tersebut, Ravindra menyampaikan bahwa Indonesia meminta agar standar ISPO disinkronkan dengan kebijakan Uni Eropa.
“Kita sudah memiliki namanya ISPO, Indonesia standard on Sustainable, ini kita minta disinkronisasikan dengan ISPO sehingga tidak terjadi sertifikasi dua kali dan ini sedang disinkronisasikan,” kata Ravindra, dikutip dari laman Emedia DPR RI, Rabu (23/04/2025).
Langkah ini bertujuan agar pelaku usaha sawit di Indonesia tidak mengalami beban tambahan akibat kewajiban sertifikasi ganda saat mengekspor ke pasar Eropa.
Selain isu sertifikasi, pertemuan BKSAP dan INTA juga membahas percepatan penyelesaian perjanjian EU-CEPA. Ravindra menyebut perjanjian ini akan berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia.
“Ini merupakan hal yang positif karena traditional export marking kita seperti China, Amerika ini terdampak perang dagang dan perang tarif. Misalnya 30 persen dari ekspor makanan laut kita ke Amerika, (tetapi) saat ini ekspor kita ke Uni Eropa hanya 7 persen. Dengan melakukan perjanjian ini peningkatan ekspor makanan laut kita (ke Eropa) pun (diharapkan) membaik,” ujar Ravindra.
Di sisi lain, isu mobilitas antarwarga atau people movement turut menjadi perhatian dalam pembahasan.
“Kita membahas (juga) terkait dengan people movement. Tadi sampaikan oleh beberapa delegasi bahwa student LPDP kita 58 persen memilih belajar ke Uni Eropa. Banyak juga turis Indonesia yang memilih untuk berlibur ke Uni Eropa. Jadi kita meminta kemudahan pengurusan visa dan juga perpanjangan term daripada visa. Karena adanya large people to people movement,” jelas Ravindra.
Terkait kelanjutan EU-CEPA, Ravindra menyatakan bahwa sebagian besar isi perjanjian telah dibahas dan tinggal beberapa bagian lagi untuk diselesaikan.
“Ketika nanti sudah diskusi selesai di pemerintah, antara pemerintah Indonesia dan European Commission, maka itu akan dibawa ke DPR kemungkinan besar di Komisi VI, kemudian untuk segera diratifikasi dalam satu masa sidang. Kita memantau terus dari segi Parlemen Indonesia dan dari Parlemen Eropa terkait progres dari EU-CEPA, begitu sudah teratifikasi kami akan bahas di parlemen dan sesegera mungkin merealisasikan EU CEPA ini melalui mekanisme di Komisi VI,” tambahnya.
Pembahasan juga mencakup mekanisme penyesuaian batas karbon atau carbon border adjustment mechanism. Mekanisme ini sebelumnya dikhawatirkan akan membebani ekspor dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun, menurut keterangan dalam pertemuan tersebut, Uni Eropa menyatakan akan memberikan keringanan bagi Indonesia terkait pengenaan pajak karbon.
Isu standar keberlanjutan komoditas seperti kakao dan kelapa sawit menjadi bagian penting dalam pembahasan antara BKSAP dan INTA. Sinkronisasi kebijakan diharapkan menjadi langkah konkret dalam memperkuat kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan.***