Empat Aspek Masalah Tata Kelola Sawit, Ini Temuan Ombudsman RI

Ombudsman RI ungkap tumpang tindih lahan, perizinan, tata niaga, dan kelembagaan sebagai masalah utama

BERITA

Arsad Ddin

19 November 2024
Bagikan :


Jakarta, HAISAWIT – Ombudsman Republik Indonesia merilis hasil Kajian Sistemik terkait tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia. Temuan ini mengungkapkan berbagai potensi maladministrasi yang masih terjadi di sektor ini, mulai dari ketidakpastian layanan hingga pengabaian kewajiban hukum.  

Dilihat dalam laman resmi RRI, Senin (18/11/2024), Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyampaikan bahwa kajian tersebut bertujuan memberikan gambaran menyeluruh atas masalah layanan yang diselenggarakan negara dalam tata kelola sawit. 

“Hasil kajian ini bermaksud untuk memberikan potret menyeluruh tentang persoalan yang masih ada dalam tata kelola sektor ini khususnya masalah layanan yang diselenggarakan negara. Kajian ini mengidentifikasi sejumlah potensi masalah yang bisa berujung pada maladministrasi,” ucap Yeka.  

Kajian ini mengidentifikasi empat aspek utama yang menjadi permasalahan tata kelola sawit, yakni aspek lahan, perizinan, tata niaga, dan kelembagaan. Pada aspek lahan, ditemukan tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) dengan kawasan hutan yang menghambat banyak perkebunan rakyat dalam mendapatkan bantuan pemerintah.  

“Ombudsman menemukan fakta di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, bahwa banyak perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan Pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” ujar Yeka.  

“Pertama, pemerintah perlu segera menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Dalam hal lahan perkebunan sawit rakyat telah memiliki kejelasan status HAT maka lahan tersebut dilepaskan dari kawasan hutan,” tegas Yeka.  

Pada aspek perizinan, Ombudsman menemukan permasalahan seperti rendahnya pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan ketidakpastian layanan Persetujuan Teknis (Pertek) untuk aplikasi limbah cair. 

“Pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian Pabrik Kelapa Sawit dan perizinan pendukung lainnya. Pemerintah perlu mengintegrasikan izin pendirian Pabrik Kelapa Sawit untuk diampu oleh Kementerian di bidang Perindustrian dengan rekomendasi teknis dari kementerian yang membidangi perkebunan,” ucap Yeka.  

Selain itu, pada aspek tata niaga, Ombudsman menyoroti ketidakjelasan prosedur dalam persaingan usaha antara Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun maupun kebijakan biodiesel. Tidak terintegrasinya regulasi antar-kementerian dinilai memperburuk masalah ini.  

Yeka juga menekankan pentingnya komitmen semua pihak dalam mendukung perbaikan tata kelola sawit. 

“Semua saran perbaikan ini hanya akan berhasil jika ada komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam memperbaiki sistem yang ada dan menjamin keberlanjutan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit. Dunia usaha juga harus menunjukkan kesediaan untuk beradaptasi dengan peraturan yang ada, mengutamakan praktik bisnis yang berkelanjutan dan tidak hanya mengejar keuntungan semata,” kata Yeka.  

Ombudsman berharap pemerintah segera membentuk Badan Nasional yang fokus pada pengelolaan industri sawit hulu-hilir. Badan ini dinilai penting untuk memastikan tata kelola sawit lebih terintegrasi dan berkelanjutan.***


Bagikan :

Artikel Lainnya