Perbandingan Hilirisasi Kelapa Sawit : Pelajaran dari Malaysia dan Tantangan Indonesia dalam Pengembangan Produk Turunan

Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Kelapa Sawit Indonesia (DMSI), mengatakan produk turunan atau hilir industri kelapa sawit Indonesia hanya akan mencakup 179 jenis produk pada tahun 2023.

BERITA

Novi

8 Februari 2024
Bagikan :

Bandung - Sahat Sinaga, Pelaksana Tugas Ketua Umum Dewan Kelapa Sawit Indonesia (DMSI), mengatakan produk turunan atau hilir industri kelapa sawit Indonesia hanya akan mencakup 179 jenis produk pada tahun 2023. Sedangkan, Malaysia telah berhasil mengembangkan 260 produk turunan dari hilirisasi sawit.

"Di Malaysia mereka sudah lebih banyak, itu hampir 260-an jenis produk turunan sawit. Mereka sudah bisa menghasilkan tokotrienol dan tokoferol langsung diekstrak dari sawitnya. Teknologi mereka sudah sampai situ," kata Sahat dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit di Bandung, Jawa Barat, Kamis, 1/2/2024.

Salah satu turunan minyak sawit yang bernilai tambah tinggi dari Malaysia adalah tokotrienol dan tokoferol yang termasuk dalam kelompok vitamin E. Tokotrienol memiliki sifat menangkal radikal bebas, dan sifat antioksidan tokotrienol juga dikaitkan dengan kemampuannya mengurangi pembentukan tumor, kerusakan DNA, dan kerusakan sel. Tokoferol merupakan antioksidan terpenting dalam lemak dan minyak serta berperan dalam tingkat kesuburan dan pembentukan jaringan tulang.

Sedangkan untuk harga 1 kilogram (Kg) tokotrienol, Sahat mengatakan nilainya setara dengan US$ 800 atau Rp 12,6 juta (asumsi kurs Rp 15.774/US$).

"Kenapa (produk turunan) Malaysia lebih banyak? Karena di sana pengusaha itu aman, nggak ada satpam tiba-tiba datang, atau ada satuan pemuda setempat datang. Di sana regulasinya teratur, tidak berubah-ubah. Sedangkan di Indonesia itu besar potensinya, tapi takut untuk masuk," tuturnya.

Oleh karena itu, agar industri hilir kelapa sawit Indonesia lebih menguntungkan di masa depan, Pak Sahat menyerukan pembentukan lembaga pemerintah yang setara dengan Kementerian untuk mencegah Kementerian melakukan campur tangan yang berlebihan terhadap peraturan di industri sawit Indonesia.

"Supaya itu kondusif, jangan terlalu banyak kementerian yang cawe-cawe di situ. Maka sawit itu diberikan kepada satu badan, dia lah sebagai regulator yang langsung melapor kepada Presiden, Kementerian yang lain itu hanya supporting, tapi tidak decision maker," ujarnya.

Jika hal ini berhasil diterapkan dan terdapat konsistensi regulasi, Sahat optimis industri hilir kelapa sawit Indonesia akan jauh lebih besar dibandingkan Malaysia.

"Jangan lupa, mereka (Malaysia) itu hanya punya 5 juta hektare (kebun sawit) kok, produksinya hanya 19 juta ton. Apa yang terjadi adalah? Mereka beli sawit kita. Nah sawit kita dijual jadi lebih tinggi lagi. Yang gendeng siapa? Jawab sendiri," ujarnya.

Pak Sahat berpendapat bahwa selain minyak sawit, bahan baku karet juga harus dimasukkan dalam organisasi ini. Pasalnya, hilirisasi karet juga bisa memberikan nilai tambah yang signifikan bagi negara.

"Contoh ya, saya di Thailand, semua jalan itu aspal nya dari karet. Kita aspalnya impor, karena apa? Ada yang dapat cuan kalau impor. Jadi karet rakyat dibiarin, padahal teknologinya nggak susah kok," tukas dia.

Sahat mengatakan jalan aspal karet lebih kecil kemungkinannya menimbulkan kerusakan dibandingkan aspal berbahan dasar minyak bumi.

"Kalau aspal dari minyak bumi probabilitas rusaknya cepat, jadi kontraktor senang. Selain itu, kehausan ban di aspal minyak bumi cepat rusak, sedangkan aspal dari karet lebih sedikit rusaknya. Jadi industri ban juga tidak suka," ujarnya.

Pak Sahat juga menanyakan kepentingan siapa yang diprioritaskan pemerintah saat ini. "Kalau saya pemerintah, petani yang akan saya menangkan. 'Mulai sekarang tidak boleh ada lagi impor aspal', selesai. Petani-petani karet saya pakai semua," pungkasnya.

Sumber : CNBC Indonesia

Bagikan :

Artikel Lainnya