Guru Besar IPB Prof. Yanto Santoso: Eropa dan AS Iri dengan Sawit Indonesia.

Guru Besar IPB, Prof. Yanto Santoso, menilai bahwa Amerika Serikat dan Eropa merasa terancam dengan dominasi sawit Indonesia. Ia menyebut kampanye negatif terhadap sawit berkaitan dengan kepentingan perdagangan global.

BERITA

Arsad Ddin

16 Maret 2025
Bagikan :

Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (Foto: aprobi.or.id)

Jakarta, HAISAWIT - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santoso, menilai bahwa negara-negara Barat merasa terancam dengan dominasi kelapa sawit Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan dalam sebuah wawancara pada Senin (13/01/2025).

Prof. Yanto mengatakan bahwa sawit sering kali menjadi sasaran kritik karena tidak tumbuh di negara-negara Barat. Ia menyebut ada perlakuan berbeda terhadap sawit dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lainnya.

Dilansir TVRINews, Minggu (16/03/2025), Prof. Yanto menyebut bahwa dominasi sawit Indonesia telah menimbulkan ketidaksenangan di Amerika Serikat dan Eropa. Ia berpendapat bahwa jika sawit tumbuh di wilayah mereka, kritik terhadap komoditas ini tidak akan sebesar sekarang.

“Ada perang dagang nih minyak nabatinya internasional. Coba kalau sawit tumbuh di Eropa sama Amerika, mereka [pihak asing] nggak akan mempersoalkan,” kata Yanto.

Ia menambahkan bahwa kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati dari bunga matahari dan kedelai yang menjadi andalan Eropa dan Amerika Serikat.

Prof. Yanto juga menyoroti peran LSM asing dalam kampanye negatif terhadap sawit. Menurutnya, sebagian LSM mendapatkan dukungan dari pihak luar negeri untuk menghambat perkembangan industri sawit Indonesia.

“Itu lah mereka iri. Disuruh lah para LSM. Sekarang mikir deh nih, Ketika orang mau nanam tebu atau nanam aren di kawasan hutan, ada yang ribut nggak? Tidak ada. Begitu sawit, ada kata-kata sawit, langsung ribut kan LSM, kan? Karena mereka dibiayai oleh asing untuk menghantam kita nggak boleh maju,” papar Yanto.

Selain itu, ia menjelaskan bahwa rencana pemerintah menanam sawit di kawasan hutan yang telah rusak bukanlah tindakan deforestasi. Justru, langkah ini dinilai dapat meningkatkan produktivitas kawasan tersebut.

“Kalau kebun sawit yang ditanamkan Bapak Presiden itu, akan ditanam di kawasan hutan yang sudah rusak, maka itu bukan deforestasi. Karena nggak ada tumbuhan pohon. Sebaliknya akan meningkatkan produktivitas kawasan tersebut,” terangnya.

Prof. Yanto berpendapat bahwa ada kesalahpahaman mengenai kebijakan ini. Ia menekankan bahwa yang dimaksud pemerintah bukanlah membuka hutan primer, melainkan memanfaatkan lahan yang telah terdegradasi.

Pernyataan Prof. Yanto mencerminkan dinamika yang terjadi dalam industri sawit global. Persaingan minyak nabati tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga melibatkan kepentingan politik dan lingkungan. Sementara itu, pemerintah Indonesia berupaya mencari solusi yang menguntungkan bagi perekonomian nasional tanpa mengesampingkan aspek lingkungan.

Dalam konteks ini, sawit tetap menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi, produktivitas dan potensi ekspor sawit masih menjadi kekuatan utama bagi industri ini di pasar global.***

Bagikan :

Artikel Lainnya