Pemerintah Batasi Ekspor POME, HAPOR, dan UCO: Prioritaskan Industri Dalam Negeri

Regulasi baru sawit fokus pada ketersediaan bahan baku untuk industri dalam negeri dan implementasi B40.

BERITA

Arsad Ddin

11 Januari 2025
Bagikan :


Foto: Humas Kemendag RI

Jakarta, HAISAWIT – Pemerintah mengambil langkah tegas dengan memperketat ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO). Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri dalam negeri.

Langkah ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 2 Tahun 2025. Regulasi tersebut mengubah ketentuan sebelumnya pada Permendag Nomor 26 Tahun 2024. Permendag baru ini mulai berlaku sejak Rabu, 08 Januari 2025.

Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden. Fokusnya adalah menjamin ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (CPO) untuk mendukung industri minyak goreng rakyat dan implementasi biodiesel berbasis minyak sawit (B40).

“Menindaklanjuti arahan Presiden, kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40. Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama,” tutur Mendag Budi Santoso, seperti dilihat pada laman resmi Kemendag, Jumat (10/01/2025).

Permendag Nomor 2 Tahun 2025 juga mengatur syarat-syarat untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) bagi produk turunan kelapa sawit. Kebijakan ini dirancang untuk memastikan ekspor produk seperti POME, HAPOR, dan UCO tetap terkendali dan tidak mengganggu pasokan domestik.

Ekspor POME dan HAPOR telah mencatat lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari hingga Oktober 2024, volume ekspor mencapai 3,45 juta ton. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor CPO pada periode yang sama yang hanya sebesar 2,70 juta ton.

Pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton. Volume tersebut juga jauh melampaui ekspor CPO sebesar 3,60 juta ton. Data ini menunjukkan pertumbuhan rata-rata ekspor POME dan HAPOR sebesar 20,74 persen dalam lima tahun terakhir, sementara ekspor CPO turun 19,54 persen.

Menurut Mendag Budi Santoso, kondisi ini dapat berdampak buruk bagi ketersediaan bahan baku di dalam negeri. “Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri di dalam negeri,” kata Mendag Budi Santoso.

Mendag juga menjelaskan bahwa peningkatan ekspor POME dan HAPOR tidak hanya berasal dari limbah atau residu. Ada indikasi pencampuran CPO dengan POME dan HAPOR untuk meningkatkan volume ekspor. Hal ini berpotensi merugikan industri dalam negeri yang sangat membutuhkan CPO sebagai bahan baku.

Selain itu, peningkatan ekspor produk turunan sawit diduga dipengaruhi oleh pengolahan buah sawit dari Tandan Buah Segar (TBS) yang langsung dibusukkan menjadi POME dan HAPOR. Kondisi ini mengakibatkan persaingan tidak sehat di antara Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dalam mendapatkan pasokan TBS.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap industri sawit dalam negeri dapat lebih terjaga keberlanjutannya. Selain mendukung program minyak goreng rakyat, kebijakan ini juga menjadi langkah strategis dalam mewujudkan implementasi B40 di masa mendatang.***


Bagikan :

Artikel Lainnya