Urgensi Lahan Khusus untuk Pengembangan Biodiesel Sawit di Indonesia

-

BERITA HAI INOVASI SAWIT

April

31 Mei 2024
Bagikan :

Jakarta - Pemerintah perlu menyediakan areal khusus (dedicated area) dari lahan-lahan terdegradasi untuk membangun perkebunan sawit. Langkah ini penting jika program bahan bakar nabati (BBN/biofuel), terutama biodiesel berbasis sawit, akan dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu B40, B50, dan seterusnya. Saat ini, program biodiesel di Indonesia telah mencapai level B35. Areal khusus tersebut nantinya akan dikelola oleh BUMN atau para petani sawit.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menjelaskan bahwa industri sawit nasional saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat. Konsumsi dalam negeri untuk pangan, biodiesel, dan oleokimia terus meningkat. Misalnya, program biodiesel B35 yang sedang berjalan saat ini membutuhkan 10,65 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), dan jumlah ini akan meningkat menjadi 13-14 juta ton jika dinaikkan ke B40.

Sementara itu, produksi CPO relatif stagnan dan volume ekspor cenderung menurun. "Karena itu, untuk memastikan program biofuel tetap berjalan dan kebutuhan pangan serta industri dalam negeri dan ekspor dapat terpenuhi, kami usulkan adanya areal khusus (dedicated area) untuk kebun energi terutama di lahan yang terdegradasi," kata Eddy baru-baru ini.

Berdasarkan data Gapki, produksi minyak sawit Indonesia pada 2020 mencapai 51,58 juta ton, turun sedikit menjadi 51,3 juta ton pada 2021, dan stabil di 51,25 juta ton pada 2022. Pada 2023, produksi meningkat menjadi 54,84 juta ton, terutama karena adanya penambahan luas areal sawit sebesar 540 ribu hektare selama 2017-2020, dengan 260 ribu hektare di antaranya menjadi areal tanaman menghasilkan. Namun, produksi pada 2022 terganggu oleh larangan ekspor. "Sejak adanya moratorium izin baru untuk sawit, tidak ada lagi perluasan areal oleh perkebunan besar. Sementara itu, realisasi upaya peningkatan produksi melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sangat rendah," tambah Eddy.

Produksi minyak sawit nasional akan merosot tajam jika pasal 110B dari UU Cipta Kerja diterapkan untuk mengeluarkan 2,4 juta hektare kebun sawit dari status kawasan hutan. Menurut perhitungan Gapki, jika 2,4 juta hektare kebun sawit tersebut dikembalikan ke negara, produksi CPO akan berkurang sekitar 7,2 juta ton per tahun. Hal ini tentu akan menghambat target peningkatan produksi dan pemenuhan kebutuhan domestik serta ekspor, juga program bioenergi dalam rangka Indonesia Emas 2045. "Karenanya, dengan rencana pemerintah baru untuk penggunaan sawit sebagai energi hingga B50, perlu dibangun dedicated area atau kebun khusus. Pengelolaannya dapat diserahkan kepada BUMN dan petani," jelas Eddy.

Dalam dokumen paparan Gapki, tercatat bahwa total perkebunan sawit di Indonesia yang masuk dalam kawasan hutan mencapai sekitar 3,4 juta hektare. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan 18 Surat Keputusan Menteri LHK yang menetapkan 2,45 juta hektare kebun sawit masuk kawasan hutan, dengan 2,13 juta hektare di antaranya dimiliki oleh 2.128 perusahaan. Gapki mencatat terdapat 569 perusahaan anggota Gapki dengan luas kebun sawit 810.425 hektare yang masuk kawasan hutan, yang penyelesaiannya menggunakan pasal 110A dan 110B. Pada 31 Desember 2023, KLHK telah mengeluarkan tagihan untuk kebun sawit kategori 110A sebanyak 365 subjek hukum dengan luas 600 ribu hektare. Denda administrasi berupa kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR) berkisar antara Rp 1.000.000 hingga Rp 6.500.000 per hektare.

Di sisi lain, untuk kebun sawit di kawasan hutan yang penyelesaiannya menggunakan pasal 110B, tagihan akan dikeluarkan pada pertengahan 2024. Namun, beberapa perusahaan telah menerima tagihan dengan nilai denda Rp 96 juta per hektare. Perusahaan yang termasuk kategori 110B selain harus membayar denda juga hanya diizinkan menyelesaikan satu siklus tanam.

Ketua Pusat Studi Sawit IPB University, Budi Mulyanto, mengkritik pemilihan PP No 24 Tahun 2021 untuk menyelesaikan permasalahan kebun sawit di kawasan hutan, yang seharusnya menggunakan PP No 43 Tahun 2021. "Harusnya, jika ada indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan, didekati dengan PP No 43 Tahun 2021. Penggunaan PP No 24 Tahun 2021 malah menimbulkan banyak masalah," ujar Budi dalam diskusi publik bertajuk Pencegahan Maladministrasi Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit yang digelar Ombudsman RI, Senin (27/05/2024).

Situasi ini berpotensi merugikan kegiatan usaha perkelapasawitan di Indonesia, berupa penurunan produksi, hilangnya lapangan kerja, dampak negatif pada ekonomi nasional, dan berbagai aspek turunannya. Penghentian usaha perkebunan, meskipun sementara, termasuk setelah satu daur tanam, dapat menimbulkan masalah sengketa agraria.

Bagikan :

Artikel Lainnya