Melalui kolaborasi global, BRIN berharap kebijakan EUGD dapat diimbangi dengan pendekatan inklusif untuk mendukung keberlanjutan sawit Indonesia
Arsad Ddin
8 Desember 2024Melalui kolaborasi global, BRIN berharap kebijakan EUGD dapat diimbangi dengan pendekatan inklusif untuk mendukung keberlanjutan sawit Indonesia
Arsad Ddin
8 Desember 2024Ilustrasi Kelapa Sawit (Foto: gapki.id)
Cibinong, HAISAWIT – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui sejumlah peneliti menyampaikan pentingnya kolaborasi internasional untuk melindungi industri kelapa sawit Indonesia dari dampak kebijakan European Union Green Deal (EUGD). Kebijakan ini dinilai memiliki implikasi signifikan, terutama pada petani kecil yang bergantung pada sektor kelapa sawit.
Kebijakan EUGD yang mencakup regulasi deforestasi menjadi tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dalam kajian yang dilakukan oleh BRIN, terungkap bahwa hambatan non-tarif seperti Deforestation-Free Palm Oil (DFP) dapat memengaruhi keberlanjutan industri sawit nasional.
“Forum-forum kerja sama internasional dapat menjadi sarana penting bagi Indonesia untuk menyuarakan kepentingannya,” ujar Iwan Hermawan, Peneliti Pusat Riset Ekonomi Industri dan Perdagangan BRIN, seperti dilihat laman BRIN, Minggu (08/12/2024).
Iwan menjelaskan bahwa kebijakan DFP tidak hanya memengaruhi perekonomian nasional tetapi juga penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat. Ia menegaskan bahwa momentum ini perlu dimanfaatkan untuk memperkuat tata kelola kelapa sawit nasional dan melindungi petani kecil melalui program Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Meilinda Sari Yayusman, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, dalam kajiannya menyebutkan bahwa peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting dalam memperkuat posisi negara berkembang terhadap kebijakan Uni Eropa.
“Biasanya cabang LSM mereka memiliki basis di negara-negara anggota UE, untuk mendirikan kehadiran dan pengaruhnya terhadap UE, khususnya Komisi Eropa,” ungkap Meilinda.
Menurut Meilinda, sebagian besar LSM di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tidak memiliki akses langsung ke Uni Eropa. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan kelompok kepentingan yang lebih besar untuk menyuarakan perspektif dari negara berkembang.
Sementara itu, Rifki Indra Maulana, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, menyoroti perlunya pendekatan yang lebih inklusif dalam implementasi kebijakan EUGD.
“Uni Eropa perlu berdialog dan berkolaborasi dengan negara-negara berkembang untuk mengakomodasi perspektif serta kapasitas mereka, daripada menerapkan tindakan sepihak dengan dampak ekstrateritorial,” tandas Rifki.
Rifki menambahkan bahwa kolaborasi internasional yang melibatkan pembakuan peraturan, promosi praktik terbaik, dan dukungan teknis akan menjadi langkah penting untuk menciptakan standar lingkungan yang berkelanjutan.
Workshop internasional yang diselenggarakan BRIN bersama mitra internasional seperti Wageningen University, Monash University Malaysia, dan IPB University di Cibinong pada Selasa (03/12) lalu, menjadi platform diskusi penting terkait implementasi EUGD.
Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat upaya Indonesia dalam menghadapi tantangan global, sekaligus mendorong keberlanjutan sektor kelapa sawit di tengah tekanan regulasi internasional.***