Lubuk Larangan, Kearifan Lokal Petani Sawit dalam Menjaga Sungai

Masyarakat petani sawit swadaya di Jambi berperan aktif dalam menjaga sungai melalui sistem Lubuk Larangan. Langkah ini terbukti efektif dalam mempertahankan kualitas lingkungan dan mendukung kesejahteraan komunitas setempat.

BERITA

Arsad Ddin

25 Februari 2025
Bagikan :

(Foto: ceritabaik.fortasbi.org)

Jambi, HAISAWIT - Petani sawit swadaya di Jambi berinisiatif menjaga kelestarian sungai melalui tradisi Lubuk Larangan. Tradisi ini telah menjadi bagian dari kearifan lokal yang berkontribusi pada konservasi ekosistem perairan.

Dilihat laman FORTASBI, Selasa (25/02/2025), kawasan konservasi sungai yang dikelola oleh petani sawit swadaya telah mencapai 121 kilometer. Selain itu, kawasan konservasi sempadan sungai mencapai 13.346 hektar. Langkah ini menunjukkan keterlibatan aktif petani dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

Lubuk Larangan adalah area perairan yang tidak boleh dieksploitasi dalam jangka waktu tertentu. Sistem ini bertujuan menjaga populasi ikan dan kualitas air agar tetap terjaga. Setelah masa larangan berakhir, masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan.

Tiga desa di Jambi telah menerapkan sistem Lubuk Larangan, yaitu Desa Sungai Rotan, Desa Tanjung Paku, dan Desa Lubuk Lawas. Masyarakat setempat berperan aktif dalam menjaga kawasan tersebut tanpa paksaan.

Keberadaan Lubuk Larangan memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi petani sawit. Selain menjaga ekosistem sungai, tradisi ini juga membantu meningkatkan hasil tangkapan ikan yang lebih melimpah saat panen diperbolehkan.

Selain itu, petani sawit swadaya di wilayah ini turut berkontribusi dengan memberikan bibit ikan dan tanaman untuk memperkaya ekosistem sungai. Inisiatif ini dilakukan secara swadaya dan berkelanjutan oleh komunitas petani.

Sungai yang memiliki Lubuk Larangan cenderung lebih bersih dan terjaga dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Keberadaan sistem ini membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga sungai sebagai aset bersama.

Kondisi sosio-ekonomi menjadi faktor utama dalam pembentukan Lubuk Larangan. Partisipasi masyarakat dan nilai budaya lokal turut menentukan keberhasilan program ini di berbagai daerah.

Di daerah lain yang tidak menerapkan Lubuk Larangan, sungai cenderung lebih tercemar. Tidak adanya pengawasan dan aturan pemanfaatan menyebabkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya air.

Lubuk Larangan menunjukkan bahwa konservasi lingkungan dapat dilakukan berbasis kearifan lokal. Petani sawit swadaya telah membuktikan bahwa tradisi ini tidak hanya melindungi ekosistem sungai, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.***

Bagikan :

Artikel Lainnya