Kebijakan Antideforestasi Eropa Ancam Ekspor Sawit RI, Petani Belum Siap

Kebijakan antideforestasi Eropa dapat memengaruhi ekspor sawit Indonesia, namun survei menunjukkan 94% petani belum memahami aturan ini

BERITA

Arsad Ddin

31 Oktober 2024
Bagikan :

Kebijakan antideforestasi Eropa dapat memengaruhi ekspor sawit Indonesia, namun survei menunjukkan 94% petani belum memahami aturan ini (Foto: distanbun.acehprov.go.id)

Jakarta, HAISAWIT - Implementasi kebijakan European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) atau UU Antideforestasi Uni Eropa diprediksi akan berpengaruh besar terhadap kelangsungan petani kelapa sawit di Indonesia. Sayangnya, survei terbaru menunjukkan bahwa 94% petani sawit di Indonesia belum mengetahui adanya aturan tersebut. 

Hal ini mengindikasikan bahwa banyak petani yang belum siap menghadapi dampak dari regulasi yang akan mulai berlaku pada akhir tahun 2024. Dalam diskusi daring yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef), ekonom senior M. Fadhil Hassan memaparkan hasil survei yang dilakukan terhadap 500 petani sawit di wilayah Riau, Lampung, dan Kalimantan Barat. 

"Padahal kan aturan ini akan sangat berdampak kepada mereka. Jadi hanya 6% yang pernah mengetahui EUDR," ujarnya, seperti dilihat dalam laman resmi Distanbun Aceh, Rabu (30/10/2024). 

Dengan angka yang mencolok ini, jelas bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman petani mengenai regulasi yang dapat memengaruhi akses mereka ke pasar internasional.

Kesiapan teknis petani juga menjadi sorotan, di mana hanya 31% petani yang memahami geolokasi kebun mereka dan 33% memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan EUDR. 

"Jadi memang masih kecil sekali petani-petani yang mengetahui masalah tersebut." ujar Fadhil.

Hal ini menambah kekhawatiran akan dampak yang mungkin ditimbulkan, terutama bagi petani skala kecil yang sangat bergantung pada ekspor ke pasar Eropa.

Risiko kehilangan akses pasar Eropa menjadi nyata, mengingat saat ini sekitar 10% dari total ekspor sawit Indonesia ditujukan ke kawasan tersebut. Jika petani tidak mematuhi aturan ini, mereka berpotensi kehilangan kesempatan untuk menjual produk mereka, yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama. 

M. Fadhil menekankan perlunya sosialisasi yang lebih intensif dari pemerintah untuk memastikan petani memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang EUDR sebelum implementasinya. Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Muhammad Fauzan Ridha juga memperingatkan mengenai dampak negatif kebijakan ini terhadap sektor tenaga kerja di industri kelapa sawit. 

"Tenaga kerja tidak langsung dan buruh-buruh harian di industri, kemudian di lahan-lahan petani, ini akan terdampak pada saat nanti penyerapan produk sawitnya akan terganggu akses pasarnya." jelas Fadhil.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan EUDR tidak hanya berpengaruh pada petani, tetapi juga pada jutaan pekerja yang bergantung pada industri kelapa sawit. Kementerian Pertanian memperkirakan bahwa penerapan EUDR dapat menyebabkan kerugian ekonomi hingga US$17 miliar (sekitar Rp265 triliun) per tahun. 

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk melakukan upaya proaktif dalam memberikan pelatihan dan informasi kepada petani tentang cara memenuhi persyaratan EUDR. Tanpa langkah-langkah tersebut, industri sawit nasional yang telah menjadi tulang punggung ekonomi negara ini dapat terancam, terutama di sentra produksi utama seperti Riau, Kalimantan, dan Sumatra.

Dengan tantangan baru yang dihadapi oleh petani kelapa sawit Indonesia, sosialisasi dan dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait menjadi sangat penting. Hanya dengan pemahaman yang baik tentang regulasi ini, diharapkan para petani dapat mempersiapkan diri dan tetap berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia, sambil menjaga keberlanjutan lingkungan.***


Bagikan :

Artikel Lainnya