-
April
30 Mei 2024-
April
30 Mei 2024Jakarta - Persoalan kemitraan antara petani sawit dan perusahaan inti mendapat perhatian khusus dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Isu pelanggaran dalam pelaksanaan kemitraan sering terjadi, terutama ketika perjanjian kemitraan dibuat sepihak oleh usaha besar. Selain itu, perjanjian ini sering kali tidak mengatur pengembangan UMKM, dan perusahaan besar memiliki kontrol penuh dalam menentukan kebijakan serta pengambilan keputusan dalam hubungan kemitraan. Bahkan, perusahaan dapat memutus hubungan kemitraan secara sepihak.
Kepala Bidang Kajian dan Advokasi Kanwil V KPPU Samarinda, Ratmawan Ari Kusnandar, menyampaikan bahwa berdasarkan UU 20/2008 tentang UMKM, KPPU diberi tugas baru untuk melakukan pengawasan kemitraan. “Jadi, apabila ada pelanggaran perjanjian kemitraan, dapat dilaporkan ke KPPU,” ujarnya dalam keterangan tertulis saat menjadi pembicara dalam acara “Pembinaan dan Peningkatan Kemitraan Perkebunan Sawit di Kabupaten Kutai Barat (Kubar)” yang diselenggarakan oleh Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim pada Selasa (28/5). Ari melanjutkan, pengawasan perjanjian kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus mencakup identitas para pihak, jenis kegiatan usaha, hak dan kewajiban para pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu kemitraan, jangka waktu pembayaran, serta penyelesaian masalah.
“Oleh karena itu, ke depannya akan ada program penyuluh kemitraan yang akan membantu pelaku UMKM untuk memahami perjanjian kemitraan, baik sebelum ditandatangani maupun ketika ada pelanggaran yang terjadi,” tambahnya. Ari menekankan bahwa kemitraan harus didasarkan pada prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Pelaku usaha besar juga dilarang memiliki atau menguasai UMKM yang menjadi mitranya.
Ari mengungkapkan bahwa persoalan kemitraan yang kerap ditemukan di sektor perkebunan sawit adalah pelaku usaha besar, yaitu perusahaan inti perkebunan sawit, biasanya bermitra dengan koperasi petani melalui kebun plasma. Lahan yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan perkebunan ini kemudian diserahkan kepada petani rakyat untuk dikelola setelah mulai berproduksi. Namun, pelanggaran terjadi ketika perusahaan inti tidak melibatkan petani plasma dalam pembahasan proyeksi bisnis, penyusunan perjanjian, pengelolaan keuangan, dan pembiayaan kebun plasma, serta penentuan harga beli tandan buah segar (TBS) kebun plasma. “KPPU dapat menangani laporan masyarakat bila terjadi pelanggaran perjanjian kemitraan,” tegas Ari.
Dia juga mengakui bahwa pelaksanaan pengawasan kemitraan belum berjalan optimal. Hal ini disebabkan oleh luasnya lingkup pengawasan, besarnya jumlah pelaku UMKM, keterbatasan informasi UMKM, dan sumber daya di KPPU. Untuk mengatasi hal ini dan meningkatkan efektivitas pengawasan, KPPU berencana mencetak sejuta penyuluh kemitraan UMKM dalam lima tahun ke depan, mulai dari tahun 2024 hingga 2029. “KPPU sudah mendapat restu dari Bapak Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk menjalankan program sejuta penyuluh kemitraan, guna menjaga substansi perjanjian kemitraan yang berdasarkan prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan,” ungkapnya.