Peran FORTASBI dalam Mendorong Sawit Berkelanjutan dan Perdagangan Karbon

FORTASBI mendorong petani sawit swadaya menerapkan praktik berkelanjutan, termasuk perlindungan hutan dan peluang perdagangan karbon.

BERITA ARTIKEL

Arsad Ddin

31 Maret 2025
Bagikan :

(Foto: ceritabaik.fortasbi.org)

Jakarta, HAISAWIT - FORTASBI terus mendorong petani sawit swadaya untuk mengadopsi praktik perkebunan berkelanjutan. Langkah ini sejalan dengan upaya memperluas peluang petani dalam perdagangan karbon.

Data menunjukkan, FORTASBI telah memiliki 59 kelompok dengan jumlah anggota mencapai 16.394 petani sawit swadaya. Lahan yang telah tersertifikasi mencapai 39.427 hektar.

Dilansir laman FORTASBI, Senin (31/03/2025), beberapa kelompok petani sawit telah berupaya melindungi kawasan hutan dan lahan gambut. Langkah ini menjadi bagian dari mitigasi perubahan iklim.

Hingga akhir 2024, anggota FORTASBI telah melindungi 108,2 hektar kawasan hutan. Selain itu, sebanyak 485,24 hektar area gambut juga mendapat perlindungan.

Di sepanjang sempadan sungai, petani sawit swadaya menanam berbagai jenis pohon hutan dan tanaman buah. Total luas area yang sudah direhabilitasi mencapai 13.346 hektar.

Beberapa kelompok petani telah mengambil langkah lebih lanjut. Perkumpulan Petani Mitra Harapan (PPMH) di Ketapang telah melindungi 100 hektar Hutan Larangan sejak 2024.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Keling Kumang (APSKK) di Sekadau juga melakukan upaya serupa. Mereka telah menjaga hutan seluas 52,56 hektar sejak 2019.

Praktik perkebunan yang diterapkan mencakup perbaikan manajemen dan adopsi teknologi. Salah satu teknologi yang digunakan adalah methane capture untuk pengolahan limbah POME.

Selain itu, petani mulai memanfaatkan biomassa sawit sebagai sumber energi alternatif. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Penggunaan pupuk organik juga menjadi perhatian. Langkah ini bertujuan untuk menekan emisi karbon sekaligus meningkatkan kesuburan tanah.

Studi menunjukkan, rata-rata emisi karbon dari kebun sawit mencapai 0,08 ton CO2 eq/ton TBS per tahun. Usia tanaman berpengaruh terhadap tingkat emisi.

Tanaman sawit berusia empat tahun memiliki tingkat emisi tertinggi, yaitu 0,25 CO2 eq/ton TBS. Emisi menurun hingga titik terendah pada umur sembilan tahun sebesar 0,04 CO2 eq/ton TBS.

Di tingkat kebun dan pabrik, sumber emisi utama berasal dari POME sebesar 62 persen. Penggunaan pupuk menyumbang 31,5 persen, sementara energi fosil 5,1 persen.

Di sisi lain, kelapa sawit memiliki peran sebagai penyerap karbon atau carbon sink. Mekanisme ini terjadi melalui proses fotosintesis.

Tanaman sawit menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan mengubahnya menjadi biomassa. Ini berkontribusi terhadap keseimbangan karbon di lingkungan.

Langkah petani sawit swadaya dalam mengelola kebun secara berkelanjutan berpotensi mendapatkan manfaat dari perdagangan karbon. Beberapa komunitas di sektor lain telah lebih dulu mendapat pembayaran tunai atas jasa ekosistem yang mereka kelola.

Masyarakat desa di sekitar Hutan Lindung Bujang Raba di Jambi menjadi salah satu contohnya. Mereka berhasil menjual jasa penyerapan karbon ke perusahaan luar negeri melalui bursa karbon internasional.

Dengan adanya potensi ini, praktik perkebunan sawit berkelanjutan bisa menjadi peluang bagi petani sawit swadaya. Langkah yang diterapkan FORTASBI menunjukkan bahwa praktik baik dapat berdampak langsung pada lingkungan sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi petani.***

Bagikan :

Artikel Lainnya