SPKS: Perkebunan Sawit Perlu Pendekatan Yurisdiksi Berbasis Wilayah

-

BERITA

April

21 Juni 2024
Bagikan :

Jakarta - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyelenggarakan workshop bertajuk Best Practice Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Yurisdiksi di Jakarta, Kamis (20/6/24). Dalam acara ini, SPKS menyoroti rendahnya realisasi sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) pada perkebunan sawit rakyat.

Ketua Umum SPKS, Sabarudin, mengungkapkan bahwa beberapa hambatan utama bagi petani dalam memperoleh sertifikasi ISPO termasuk legalitas lahan, biaya, sumber daya manusia, serta pemberkasan dan administrasi. “Jadi kegiatan hari ini juga sebagai sarana belajar seperti apa penerapan yurisdiksi, kita sudah lihat ternyata kesuksesan dari penerapannya membutuhkan peran dari pemerintah,” ujar Sabarudin saat wawancara dengan media, Kamis (20/6/24).

Sabarudin menjelaskan bahwa peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat penting dalam membantu mengatasi berbagai kendala yang dihadapi petani sawit. “Misalnya tadi ada layanan SPDB gratis, percepatan pemetaan petani, kemudian pembangunan kelembagaan petani. Kita melihat di dalam daerah yang melakukan yurisdiksi itu capaian sertifikasi sawit berkelanjutan cukup besar dibandingkan kabupaten-kabupaten yang tidak memiliki komitmen kuat dalam pendekatan sertifikasi yurisdiksi,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa sertifikasi berbasis yurisdiksi ini lebih tepat sasaran dan hemat biaya dibandingkan sertifikasi parsial atau kelompok. Menurutnya, pendekatan yurisdiksi ini dapat dilakukan pada tingkat kabupaten, kecamatan, atau desa, yang memungkinkan percepatan dan perluasan penerapan keberlanjutan. “Sertifikasi yurisdiksi ini memungkinkan untuk dilakukan (berdasarkan) kewilayahan. Saya kira pendekatan seperti ini akan lebih memperluas dan mempercepat sustainability. Termasuk dalam biaya, pendekatan yurisdiksi itu lebih murah,” tuturnya.

Senada dengan Sabarudin, Direktur Eksekutif Kaleka, Bernadinus Steni, menyatakan bahwa pendekatan yurisdiksi telah berhasil diterapkan di Kabupaten Seruyan, di mana sekitar 5.500 petani swadaya telah dipetakan, dengan 1.369 petani tersertifikasi RSPO dan 862 petani tersertifikasi ISPO. Ia menuturkan bahwa prinsip dan kriteria sebaiknya disesuaikan ke level kabupaten dan mengikuti kewenangan pemerintah daerah setempat, mencakup aspek seperti FPIC, hak atas tanah, tenaga kerja, penyelesaian konflik, NKT, deforestasi, hingga karhutla.

Pemerintah daerah kemudian diharapkan membentuk regulasi, memimpin proses multipihak, serta menetapkan kelompok kerja yang bertugas untuk NKT, pencegahan konflik, dan pemberdayaan. Selanjutnya, mereka juga diharapkan membentuk ICS per wilayah. Selain memudahkan sertifikasi bagi petani kelapa sawit, Steni menambahkan bahwa pendekatan yurisdiksi juga membuka peluang sertifikasi untuk komoditas lain yang bernilai jual tinggi. “Saya kira pendekatan wilayah (yurisdiksi) itu akan membantu produk dari komoditas lain untuk mendapatkan label sertifikasi berkelanjutan, jadi sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Produk (komoditas) lain mereka tidak pusing lagi harus sertifikasi karena kita sudah melakukan dengan skala wilayah,” pungkasnya

Bagikan :

Artikel Lainnya