WSN: Membenahi Industri Kelapa Sawit Lebih Penting Ketimbang Menambah Luas

Wartawan Sawit Nusantara (WSN) meminta Presiden Prabowo Subiyanto untuk tidak terburu-buru membuat kebijakan untuk menambah luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebab dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, bila dikelola dengan baik, sebenarnya akan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

BERITA

HLS Redaksi

15 Januari 2025
Bagikan :


Pekanbaru, HAISAWIT  -  Wartawan  Sawit  Nusantara  (WSN)  meminta  Presiden  Prabowo Subiyanto untuk tidak terburu-buru membuat kebijakan untuk menambah luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebab dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, bila dikelola dengan baik, sebenarnya akan lebih  dari  cukup  untuk  memenuhi  kebutuhan  dalam  negeri  maupun ekspor. 

Ketua  Umum  WSN,  Abdul  Aziz,  mengatakan,  berdasarkan  data  terbaru Kementerian  Pertanian,  saat  ini  ada  sekitar  17,3  juta  hektar  kebun  kelapa sawit  yang  tersebar  di  31  provinsi  yang  ada  di  Indonesia.  Angka  ini melonjak dari 16,83 juta hektar pada 2022. 

 “Namun luasan ini hanya bisa menghasilkan sekitar 45 juta ton Crude Palm Oil  (CPO)  dalam  setahun.  Jika  diasumsikan  rendemen  rata-rata  Tandan Buah  Segar  adalah  20%  per  kilogram,  ini  berarti  produksi  TBS  kita  hanya sekitar  225  juta  ton  per  tahun.  Nah,  kalau  produksi  ini  dibagi  dengan luasan,  kita  ambil  saja  luasannya  16,83  juta  hektar,  berarti  produksi  TBS kita  per  hektar  per  tahunnya,  hanya  sekitar  13,4  ton.  Sama  saja  dengan sekitar  1,1  ton  per  hektar  per  bulan.  Ini  sangat  kecil,”  lelaki  49  tahun  ini mengurai.   

Mestinya  kata  Aziz,  produksi  TBS  per  hektar  itu  bisa  di  angka  3-4  ton  per hektar  per  bulan. Ini  kelihatan  dari  bukti-bukti  yang  di  dapat  oleh  WSN  di beberapa  daerah  di  Indonesia  seperti  Riau,  Sumatera  Selatan,  Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.   

“Kami  mendapati  di  daerah-daerah  ini,  kebun  kelapa  sawit  hasil  Program Peremajaan  Sawit  Rakyat  (P-PSR),  produksi  per  hektar  per  bulannya  telah mencapai  angka  segitu  dan  bahkan  ada  yang  mencapai  5-6  ton  per  hektar per  bulan.  Ini  berarti,  bila  dikelola  dengan  baik,  hasilnya  juga  akan  bagus kan?” katanya.   

Kalau  kemudian  produksi  TBS  telah  mencapai  3  ton  per  hektar  per  bulan, ini  berarti  produksi  CPO  nasional  kata  Aziz  sudah  tiga  kali  lipat  dari produksi  saat  ini.  “Produksi  CPO  kita  sudah  akan  mencapai  135  juta  ton per  tahun.  Itu  bila  rendemen  rata-rata  yang  didapat  hanya  20%  per kilogram  TBS.  Kalau  rendemen  TBS  hasil  PSR  biasanya  lebih.  Tapi  kita ambil saja 20% itu.  Nah, CPO sebanyak ini saya pastikan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor, termasuklah itu untuk kebutuhan bauran biodiesel B50 yang membutuhkan CPO sekitar 15 juta ton per tahun,” bebernya. 

Sebenarnya  kata  Aziz,  kalau  merujuk  pada  Rencana  Aksi  Nasional  Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor  6  tahun  2019,  mestinya  produksi  TBS  nasional  sudah  melonjak tajam.  Sebab  di  saat  itu,  Kementerian  Pertanian  telah  pula  mengeluarkan data  bahwa  ada  sekitar  2,7  juta  hektar  kebun  kelapa  sawit  rakyat  yang sudah  musti  diremajakan. Angka  ini  belum  termasuk  luasan  lahan  sawit perusahaan yang juga akan menjalani peremajaan.   

“Namun apa yang terjadi dengan lahan yang 2,7 juta hektar itu? Dari 2017- 2024, kebun sawit yang telah menjalani peremajaan, hanya 334.834 hektar. Ini berarti masih ada lebih dari 2,3 juta hektar lagi kebun sawit rakyat yang harus diremajakan. Kok bisa luasan peremajaan hanya segitu? Mestinya ini dulu lah yang diberesi oleh Presiden Prabowo,” pinta Aziz.   Sebab  dengan  2,3  juta  hektar  itu  saja  rampung  diremajakan  lanjut  Aziz, empat  tahun  tahun  kemudian  produksi  TBS  dari  lahan  seluas  itu  sudah mencapai  82,8  juta  ton  dalam  setahun.  Ini  setara  dengan  16,56  juta  ton CPO dalam setahun bila rendemen rata-ratanya hanya 20%.   

“Sudah  berapa  banyak  keluarga  petani  yang  sejahtera  bila  peremajaan  itu segera dilakukan dan kemudian kebunnya dirawat dengan baik. Pertanyaan yang  kemudian  muncul,  kenapa  peremajaan  sawit  rakyat  itu  teramat  sulit dituntaskan? Itu lantaran teramat banyak pula sebenarnya persoalan yang terjadi di industri kelapa sawit kita, khususnya pada petani sawit,” katanya.   Persoalan pertama menurut Aziz, selama ini petani teramat sulit mengakses pupuk dan kelengkapan lainnya demi merawat kebun untuk meningkatkan produksi. Petani sawit tidak boleh mengakses pupuk bersubsidi. 

Persoalan  kedua,  teramat  rumit  persyaratan  yang  harus  dipenuhi  oleh petani  sawit  untuk  bisa  ikut  program  peremajaan  sawit  rakyat.  Selain harus  melengkapi  legalitas,  juga  harus  mendapatkan  „lampu  hijau‟  dari Badan  Pertanahan  Nasional  (BPN)  dan  Kehutanan  terkait  tidak  tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak berada di kawasan hutan.   

“Syarat-syarat  semacam  ini  merepotkan  petani  yang  secara  logika  saja, telah  mengelola  lahannya  lebih  dari  25  tahun.  Biasanya  kan  lahan  yang akan  diremajakan  itu  kebun  yang  berumur  lebih  dari  25  tahun.  Kalau selama  25  tahun  enggak  ada  persoalan,  kenapa  kemudian  dipersoalkan,” katanya.   Lalu  persoalan  berikutnya,  petani  sawit  teramat  sulit  mengakses  penyuluh perkebunan  kelapa  sawit,  sebab  selama  ini  penyuluh  yang  ada  hanya penyuluh sektor pertanian tanaman pangan.   

“Ada  juga  petani  ini  yang  tidak  bisa  ikut  PSR  lantaran  kebunnya  diklaim dalam kawasan hutan. Data yang kami dapatkan, lebih dari 1,5 juta hektar kebun sawit rakyat diklaim dalam kawasan hutan,” ujar Aziz.   Terkait  klaim  kawasan  hutan  ini,  WSN  juga  meminta  agar  Menteri Kehutanan,  Raja  Juli  Antoni  tidak  gegabah  membuat  pernyataan menyediakan 20 juta hektar hutan untuk mendukung pangan dan energi.

“Kami  minta  Pak  Menteri  jangan  Asal  Bapak  Senang  (ABS).  Beresi  dulu pengukuhan  kawasan  hutan  itu  sesuai  dengan  pasal  14  dan  15  Undang- Undang  41  Tahun  1999  Tentang  Kehutanan.  Jangan  justru  mengklaim lahan-lahan  rakyat  menjadi  kawasan  hutan.  Yang  kami  temukan  seperti itu,  banyak  kebun-kebun  rakyat  yang  sudah  dikuasai  lebih  dari  25  tahun diklaim  menjadi  kawasan  hutan.  Sementara  sampai  sekarang  tidak  jelas pengukuhan kawasan hutan di negara ini seperti apa,” katanya.   

Kalau memang Menteri Kehutanan mendukung keinginan Presiden Prabowo kata Aziz, lepaskan itu hak-hak masyarakat dari klaim kawasan hutan agar lahan-lahan itu bisa bernilai ekonomis untuk mendukung usaha rakyat.   “Intinya, kami sangat berterimakasih Presiden Prabowo telah peduli dengan keberlanjutan  perkebunan  kelapa  sawit  Nasional.  Namun  bukan  berarti harus  menambah  luasan  perkebunan  kelapa  sawit.  Kalau  persoalan  pada lahan yang sudah eksisting diberesi, saya yakin misi ketahanan pangan dan energi  yang  diusung  Presiden  Prabowo,  akan  tercapai  sebelum  masa jabatan lima tahun pertamanya usai, saya yakin itu,” Aziz optimis.  

Bagikan :

Artikel Lainnya